Surya Jalanan
Oleh : Dina Kamalia
Matahari sedang menghajar bumi. Ada keringat di
antara debu jalanan. Harjo
dan Suryo. Darah-darah berumur 16
tahunan. Di bawah kawah jalanan mereka disaksikan sungai yang menangis karena sampah
di sekitarnya.
“Yo, cukup gak ?” Harjo memberi tanya.
“Nih !!” Suryo melempar kaleng bekas berisi uang.
“Apa-apaan sih lu ? Itu makanan kita !!” Harjo mendorong Suryo.
Suryo hanya diam dengan mata yang menyimpan dendam.
Sedangkan Harjo membuang muka.
”Gue iri. Mereka bisa memakai seragam putih abu-abu. Kita ?” Suryo bersuara.
Tadi, Suryo melihat segerombolan anak SMA di persimpangan
jalan. Berbeda dengan dirinya, berkaos oblong lusuh dan celana jeans usang.
”Apa arti kemerdekaan? Jika kita masih seperti ini?”
Suryo membuka kata lagi.
Harjo diam. Ia tak mengerti apa yang harus
dilakukannya. Karena tak mengerti dengan kemerdekaan pendidikan. Ia tak pernah
duduk di bangku sekolah. Karena baginya hidup adalah bagaimana dia bisa menghasilkan
uang. Berbeda dengan Suryo, ia pernah duduk di bangku SD. Tapi, pendidikan
SMPnya terbengkalai karena ia ditelantarkan oleh ayahnya setelah ibunya
meninggal.
Dulu, 3 tahun lalu Suryo pernah belajar dalam cakrawala
senja, belajar di kampung manusia jalan. Belajar tanpa seragam dan tanpa gedung
yang memadai. Sekarang tak ada lagi ruang untuk menghapus kebodohan itu karena
penggusuran. Gedung megah perbelanjaan kota lah yang mewakili. Siapa yang tak
dihajar marah ketika ruang merdeka negeri bagi manusia jalan direnggut. Suryo
merasa hanya dianggap sampah yang harus dibuang dan dipinggirkan.
Segera Suryo menyadari, ia harus memungut lagi
receh yang dilemparnya sampai tak ditemukannya lagi karena sebagian jatuh ke
celah dan berlabuh di sungai.
”2 thousands
plus 7 thousands. We got 9 thousands.” Lagak Suryo sok keInggrisan karena ia suka
bahasa Inggris.
”Percuma aku
marah. Tak ada yang peduli. Ayo kita
isi perut aja,” ajak Suryo seraya merangkul Harjo penuh persahabatan. Mereka pun
pergi dari mukimnya untuk mencari makan karena pagi tak pernah memberinya.
###
Keluar dari warteg, Suryo tiba-tiba lari saat
melihat koran berbahasa Inggris. Harjo sedikit kewalahan mengimbangi langkah
Suryo karena ia membawa gitar ngamennya. Tampak Suryo sedang merogoh kocek di
sakunya. Ia teringat sisa uang makan kemarin. Hanya ada 2000.
“2000 Pak ?” tawar Suryo.
“3500 masih ditawar. Untungnya tidak seberapa,
Mas. Mas ada-ada saja,”
balas penjual koran.
Suryo tak menanggapi. Ia malah mengamati keadaan sekitarnya. Entah apa. Yang jelas, sekarang ada orang
lain yang sedang mengamatinya. Seorang laki-laki seumurannya dengan penampilan urakan.
Suryo tak mengetahuinya, ia hanya menggenjreng gitarnya dengan menyanyikan lagu
dari salah satu band dalam negeri. Dan Harjo mencari tempat yang bisa digunakannya untuk duduk.
Usaha Suryo tak sia-sia, hasilnya sudah lebih dari
cukup. Suryo tersenyum kemenangan. Namun, ada orang lain yang tidak rela dengan
senyum kemenangannya. Kaos Suryo ditariknya dari belakang. Dan ....
Dug. Satu pukulan mendarat di pipi kanan Suryo.
Harjo yang tadinya duduk, seketika bangkit dan menghampiri kerusuhan itu.
”Apa-apaan?” ucap Harjo.
”Ini daerah gue. Mana uangnya ?” dengan hentakan.
Harjo semakin panas mendengarnya. Ia mencoba
membela Suryo dengan mendaratkan pukulan ke pengamen rusuh. Tapi, seorang laki-laki
rapi yang duduk di sebelah Harjo bangkit dan mencegah perbuatannya.
Sebenarnya, tiap pengamen mempunyai daerah ngamen
masing-masing. Jika magang di daerah lain harus ada perjanjian. Suryo sudah
mengetahuinya tapi koran itulah yang mendorong Suryo untuk melanggar.
Laki-laki rapi itu melerai keduanya tanpa memicu
emosi lagi. Suryo pun sedikit menjauh. Ia membagi uang yang didapatkannya. Satu
bagian yang sedikit nantinya diberikan kepada pengamen rusuh. Suryo mendekat lagi
dan menyodorkannya.
”Segini ?! Gue tadi liat gak segini,” ucap pengamen rusuh.
”Sekitar sini doang.” Harjo unjuk bicara karena
kekesalannya belum terobati.
”Awas,” ucap pengamen rusuh dengan kepalan tangan,
geram. Lalu pergi.
”Kalian belajar lewat koran, ya ?” tanya laki-laki
rapi.
Suryo dan Harjo diam tak menggubris.
”Kalian lulusan SMP atau SMA?” tak ada jawaban
lagi.
”Saya Bayu, saya dari LSM,” lanjutnya. Seketika, dua pasang mata langsung
mengarah padanya dan masih tanpa kata. Mereka saling berbisik. Lalu Suryo
membuka kata karena ia penasaran apa yang Bayu inginkan.
”Anda mau merekrut kami menjadi budak pemerintah
?”
”LSM itu lembaga non pemerintah. Di sana kami
menyediakan tempat belajar bagi anak-anak jalanan. Jika kalian tertarik kalian
bisa mengunjungi rumah sanggar kami di ujung jalan ini,” terang Bayu.
Kalimat itu membuka rasa ingin tahu Suryo. Ia
hanya memendam tanya. Tidak dengan Harjo yang terlihat sama sekali tak peduli,
sedari tadi ia hanya memainkan sebatang rokok di tangannya. Bayu berlalu pergi.
Cerpen I yang diterbitkan dibuletin kampus oleh LPM Edukasi IAIN Walisongo Semarang (Masa magang)