Wednesday, July 11, 2012


Surya Jalanan
Oleh     : Dina Kamalia                                   
Matahari sedang menghajar bumi. Ada keringat di antara debu jalanan. Harjo dan Suryo. Darah-darah  berumur 16 tahunan. Di bawah kawah jalanan mereka disaksikan sungai yang menangis karena sampah di sekitarnya.
“Yo, cukup gak ?” Harjo memberi tanya.
“Nih !!” Suryo melempar kaleng bekas berisi uang.
“Apa-apaan sih lu ? Itu makanan kita !!” Harjo mendorong Suryo.
Suryo hanya diam dengan mata yang menyimpan dendam. Sedangkan Harjo membuang muka.
”Gue iri. Mereka bisa memakai seragam putih abu-abu. Kita ?” Suryo bersuara.
Tadi, Suryo melihat segerombolan anak SMA di persimpangan jalan. Berbeda dengan dirinya, berkaos oblong lusuh dan celana jeans usang.
”Apa arti kemerdekaan? Jika kita masih seperti ini?” Suryo membuka kata lagi.
Harjo diam. Ia tak mengerti apa yang harus dilakukannya. Karena tak mengerti dengan kemerdekaan pendidikan. Ia tak pernah duduk di bangku sekolah. Karena baginya hidup adalah bagaimana dia bisa menghasilkan uang. Berbeda dengan Suryo, ia pernah duduk di bangku SD. Tapi, pendidikan SMPnya terbengkalai karena ia ditelantarkan oleh ayahnya setelah ibunya meninggal.
Dulu, 3 tahun lalu Suryo pernah belajar dalam cakrawala senja, belajar di kampung manusia jalan. Belajar tanpa seragam dan tanpa gedung yang memadai. Sekarang tak ada lagi ruang untuk menghapus kebodohan itu karena penggusuran. Gedung megah perbelanjaan kota lah yang mewakili. Siapa yang tak dihajar marah ketika ruang merdeka negeri bagi manusia jalan direnggut. Suryo merasa hanya dianggap sampah yang harus dibuang dan dipinggirkan.
Segera Suryo menyadari, ia harus memungut lagi receh yang dilemparnya sampai tak ditemukannya lagi karena sebagian jatuh ke celah dan berlabuh di sungai.
”2 thousands plus 7 thousands. We got 9 thousands.” Lagak Suryo sok keInggrisan karena ia suka bahasa Inggris.
”Percuma aku marah. Tak ada yang peduli. Ayo kita isi perut aja,” ajak Suryo seraya merangkul Harjo penuh persahabatan. Mereka pun pergi dari mukimnya untuk mencari makan karena pagi tak pernah memberinya.
                                                            ###
Keluar dari warteg, Suryo tiba-tiba lari saat melihat koran berbahasa Inggris. Harjo sedikit kewalahan mengimbangi langkah Suryo karena ia membawa gitar ngamennya. Tampak Suryo sedang merogoh kocek di sakunya. Ia teringat sisa uang makan kemarin. Hanya ada 2000.
“2000 Pak ?” tawar Suryo.
“3500 masih ditawar. Untungnya tidak seberapa, Mas. Mas ada-ada saja,” balas penjual koran.
Suryo tak menanggapi. Ia malah mengamati keadaan sekitarnya. Entah apa. Yang jelas, sekarang ada orang lain yang sedang mengamatinya. Seorang laki-laki seumurannya dengan penampilan urakan. Suryo tak mengetahuinya, ia hanya menggenjreng gitarnya dengan menyanyikan lagu dari salah satu band dalam negeri. Dan Harjo mencari tempat yang bisa digunakannya untuk duduk.
Usaha Suryo tak sia-sia, hasilnya sudah lebih dari cukup. Suryo tersenyum kemenangan. Namun, ada orang lain yang tidak rela dengan senyum kemenangannya. Kaos Suryo ditariknya dari belakang. Dan ....
Dug. Satu pukulan mendarat di pipi kanan Suryo. Harjo yang tadinya duduk, seketika bangkit dan menghampiri kerusuhan itu.
”Apa-apaan?” ucap Harjo.
”Ini daerah gue. Mana uangnya ?” dengan hentakan.
Harjo semakin panas mendengarnya. Ia mencoba membela Suryo dengan mendaratkan pukulan ke pengamen rusuh. Tapi, seorang laki-laki rapi yang duduk di sebelah Harjo bangkit dan mencegah perbuatannya.
Sebenarnya, tiap pengamen mempunyai daerah ngamen masing-masing. Jika magang di daerah lain harus ada perjanjian. Suryo sudah mengetahuinya tapi koran itulah yang mendorong Suryo untuk melanggar.
Laki-laki rapi itu melerai keduanya tanpa memicu emosi lagi. Suryo pun sedikit menjauh. Ia membagi uang yang didapatkannya. Satu bagian yang sedikit nantinya diberikan kepada pengamen rusuh. Suryo mendekat lagi dan menyodorkannya.
”Segini ?! Gue tadi liat gak segini,” ucap pengamen rusuh.
”Sekitar sini doang.” Harjo unjuk bicara karena kekesalannya belum terobati.
”Awas,” ucap pengamen rusuh dengan kepalan tangan, geram. Lalu pergi.
”Kalian belajar lewat koran, ya ?” tanya laki-laki rapi.
Suryo dan Harjo diam tak menggubris.
”Kalian lulusan SMP atau SMA?” tak ada jawaban lagi.
”Saya Bayu, saya dari LSM,” lanjutnya. Seketika, dua pasang mata langsung mengarah padanya dan masih tanpa kata. Mereka saling berbisik. Lalu Suryo membuka kata karena ia penasaran apa yang Bayu inginkan.
”Anda mau merekrut kami menjadi budak pemerintah ?”
”LSM itu lembaga non pemerintah. Di sana kami menyediakan tempat belajar bagi anak-anak jalanan. Jika kalian tertarik kalian bisa mengunjungi rumah sanggar kami di ujung jalan ini,” terang Bayu.
Kalimat itu membuka rasa ingin tahu Suryo. Ia hanya memendam tanya. Tidak dengan Harjo yang terlihat sama sekali tak peduli, sedari tadi ia hanya memainkan sebatang rokok di tangannya. Bayu berlalu pergi.


Cerpen I yang diterbitkan dibuletin kampus oleh LPM Edukasi IAIN Walisongo Semarang (Masa magang)

Iseng


Waktu sudah tua sampai menatap matamu pun setahun berlalu.
tidak di pantai dengan kemerahan cahaya matahari, yang hampir tertelan
tidak di bawah beribu bintang seperti sepasang angsa yang sedang bercumbu
tidak juga di taman dengan merah mawar, harum melati layaknya kekasih yang memadu kasih.

Ingatkah?
Hanya masa itu yang ada di benakku.
Di sudut jalan,
Kuulurkan tangan dan kutatapkan mataku ke matamu.
Sejenak, dan semua itu tentang Soal Cinta.

Thursday, December 23, 2010

Coret II

Di Saat Takdirku


Jika saat kemarin dan saat ini
Hanya kenangan ’tuk hari esok
Ku mungkin sedikit tak rela
Terlalu dalam kisah ini terukir

Jika melihat dawai senyummu
Ku tak dapat
Ku mungkin sedikit berontak
Bersama rintihan bulan rindu

Jika alunan nada yang kau buat
Tak lagi terdengar olehku
Ku mungkin sedikit teteskan rasa sedih
Di atas lirik lagu bisu cinta

Jika suatu saat kau bukan hidupku
Ku mungkin akan pergi
Dari hati yang tentram

Tak dengarkah dunia ?
Kisah yang terukir, rintihan bulan rindu,
Lirik lagu bisu cinta, dan hati yang tentram
Terkikis oleh waktu hingga tak rasa saat takdirku datang